Sabtu, 30 Mei 2009

Pesan Pendek dari Sahabat Lama


Aku telah kehilangan dia mungkin sekitar 30 tahun, sejak kerusuhan di Ibu Kota itu meletus dan nyawa-nyawa membubung bagai gelembung- gelembung busa sabun: pecah di udara, lalu tiada.

Waktu itu, di tengah kepungan panser yang siap menggilas siapa saja, doaku sangat sederhana: semoga Tuhan belum berkenan memanggilnya. Dia terlalu muda dan berharga untuk binasa, apalagi dengan cara yang mengenaskan. Aku ingin melanjutkan doa yang terlalu singkat itu, namun mendadak senapan-senapan menyalak dan tubuh-tubuh tumbang, menambah jumlah mayat yang terserak-serak.

Jalanan aspal makin menghitam disiram darah. Amis. Aku pun berharap segera turun hujan atau setidaknya gerimis agar jalanan itu sedikit terbasuh dan suasana rusuh itu sedikit luruh.

Ketika kerumunan massa bergerak dan merangsek istana, aku masih melihat dia berdiri di atas tembok, mengibas-ngibaskan bendera sambil berteriak-teriak. Kerumunan orang-orang pun makin merangsek: mencoba menumbangkan pagar besi istana. Entah berapa batalyon menghadangnya. Terjadi aksi saling dorong. Lalu, suara senapan menyalak. Lalu tubuh-tubuh tumbang. Aku pun mencoba mendongakkan kepala di tengah tubuh-tubuh yang rubuh menimbun tubuhku. Aku ingin melihatnya kembali, apakah dia masih berdiri di atas tembok. Namun, dia telah tiada. Perasaanku gusar. Hatiku gemetar. Dan, sesudah kerusuhan itu reda, beredar kabar lebih seratus demonstran tewas. Tidak sampai seminggu, gerakan massa itu berhasil memaksa Presiden Clawuz turun dan rakyat pun bisa bernapas kembali.

Siang itu, setelah rapat di kantor, sekretarisku memberi tahu ada seorang laki-laki yang mencariku. Katanya, laki-laki itu sekarang tertahan di pos keamanan. Aku menyuruh ajudanku untuk melihatnya. Tiga menit kemudian, ajudanku menghadapku dan bilang, laki-laki itu mengaku bernama Gardaz dan mengaku kawan lamaku. Dengan perasaan bahagia, kusuruh ajudanku menjemputnya.

Aku terperanjat. Ya, tamu itu benar-benar Gardaz, kawan lama yang terakhir kulihat di kerusuhan Ibu Kota, 30 tahun lalu. Aku mencoba memeluknya, tapi ia mencegah dengan senyumnya yang kurasakan sangat getir. Ia mundur dua langkah dan memberi isyarat agar aku tidak menyentuhnya. Aku diam mematung, tertegun. Kutatap dia lekat-lekat. Aku masih melihat sorot matanya yang tajam; bola matanya yang dilingkari api. Namun, keindahan dan ketajaman mata itu sangat tidak sebanding dengan tubuhnya yang kurus, hitam, atau dengan wajahnya yang makin tirus dengan tonjolan tulang pipi. Juga, kaus dan celananya yang lusuh. Kuku-kuku jari tangannya panjang dan hitam. Rambut panjangnya hampir seluruhnya memutih. Hatiku terasa menggigil. Perasaanku teraduk-aduk. Aku ingin kembali memeluk. Tapi, ia menolak dengan senyumnya yang lagi-lagi getir.

Aku meminta ajudanku meninggalkan kami. Aku mengajak dia masuk ruang tamu. Namun, ia kembali tersenyum, pahit. Ia memintaku untuk tidak repot. Katanya, pertemuan ini sudah sangat membahagiakan dirinya.

Membahagiakan? Aku membatin. Aku justru menjadi kurang berbahagia karena ia menolak kupeluk, menolak kupersilakan masuk. Padahal, aku sangat ingin merasakan kehangatan persahabatan yang telah 30 tahun terputus. Aku juga ingin tahu keadaan dirinya, ke mana saja dia dan apa pekerjaannya sekarang.

Aku lebih dari sekadar kagum pada dia. Ya, Gardaz, mahasiswa paling cerdas dan paling berani berdemonstrasi melawan tirani. Aku mengenalnya lingkaran diskusi kampus: aku kuliah di fakultas ilmu sosial politik, dia kuliah di filsafat. Diskusi kami selalu mendidih, mencoba menyingkirkan banyak sepatu lars yang berderap-derap di kepala dan rongga dada. Namun, mengenyahkan sepatu lars itu tidak gampang; berulang kali beberapa teman kami digelandang dijebloskan ke sel tahanan. Tentu termasuk Gardaz.

Sebenarnya Gardaz tidak perlu ditangkap dan ditahan petugas waktu itu karena hari itu ia tengah sakit dan tidak terlibat diskusi. Namun, ketika ia mendengar kabar bahwa aku ditangkap dan ditahan, ia mendatangi komandan daerah militer di kota Margaz. Dia minta aku dibebaskan, dengan jaminan dirinya. Ia mengaku sebagai penanggung jawab diskusi.

Pengorbanan Gardaz sangat sulit kulupakan. Sampai sekarang. Juga pengorbanan lainnya: ketika aku sakit ia merelakan uang kuliahnya untuk menebusku dari rumah sakit, ketika aku terlambat menerima kiriman uang dari desa, dia menanggung hidupku untuk beberapa minggu dan jasa baik lainnya. Ia selalu meminta aku untuk melupakan jasa baiknya, setiap aku ingin membalasnya atau menyahur utang-utangku.

Semula aku menyangka orang tua Gardaz kaya. Namun, ternyata ia anak orang biasa seperti aku: anak petani. Dari mana dia mendapat uang? Ternyata dia bekerja sambil kuliah. Dia bekerja di pabrik kecap pada malam hari.

Diam-diam di pabrik kecap itu dia membentuk organisasi pekerja dan sering melakukan banyak kegiatan. Para pekerja itu dididiknya untuk memiliki kesadaran hak. Gerakan ini dicium pemilik pabrik. Akhirnya, bersama beberapa temannya dia dipecat.

”Sejak kerusuhan itu meletus, kamu ke mana?” tanyaku.

Gardaz tersenyum, pahit. ”Aku pulang ke desa. Tapi ternyata aku tidak berbakat jadi petani....”

”Sekarang?”

”Ya, tetap konsisten jadi ... gelandangan.”

Kami tertawa. Terlihat gigi-gigi yang hitam dibakar asap rokok.

”Aku senang kamu menjadi gubernur di Margaz, kota yang sangat kita cintai. Tidak sia-sia kamu jadi kader partai...,” ujarnya.

Aku kurang senang dengan ucapannya itu. Teman-temanku yang lain sering mengejekku dengan menyebutku ”Baginda Gubernur”. Mereka menganggapku sebagai pejuang yang menyerah kepada kekuasaan yang dulu sama-sama kami lawan. Tapi, aku tidak merasa bersalah dengan pilihanku. Melihat aku terdiam, Gardaz kembali bicara.

Swear, aku senang kamu bisa jadi Gubernur, jabatan yang sangat terhormat.”

Semoga dia tulus, aku membatin. ”Terima kasih. Eee... maaf mungkin aku bisa membantumu, Bung...?”

Thanks. Aku tidak membutuhkan pertolongan atau pekerjaan. Aku hanya membutuhkan hatimu.... Hatimu,” ujarnya lirih, tapi kurasakan sangat perih.

Aku menatapnya. Aku ingin mengucapkan banyak kalimat, tapi lidahku terasa tercekat.

”Kamu tahu yang kuinginkan? Okay, selamat siang.”

Dia melangkah pelan, keluar ruangan. Tubuhku terasa aneh, sulit kugerakkan untuk mencegahnya.

Apa yang salah dengan hatiku? Pikirku.

Kehadiran Gardaz dengan cepat menguap dari kepalaku, ketika banyak urusan dinas mengepungku dan menekanku. Aku tersekap dalam urusan pembangunan mal, apartemen-apartemen mewah, jembatan, rumah sakit kelas internasional, dan proyek lainnya. Aku tersekap dalam angka-angka yang berderet-deret sepanjang bentangan keinginan. Aku terkapar di dalamnya.

Aku terbangun dari timbunan angka-angka. Kuedarkan pandangan mataku. Aku sedikit kaget melihat ruangan serba putih, melihat selang-selang infus, melihat orang-orang berpakaian serba putih.

Anak dan istriku memelukku. Mereka kularang untuk menangis. Istriku bilang, aku terkena serangan jantung koroner, namun tidak terlalu serius dan sudah teratasi. Dokter pun telah mengizinkan aku pulang.

Istriku mencegahku. Dia memintaku untuk bertahan di rumah sakit sehari atau dua hari lagi. Atau kami tinggal di hotel beberapa hari.

”Kenapa?”

Istriku tersenyum, ”Ya, agar papa makin sehat saja atau bisa lebih tenang....”

Akhirnya kami tidur di hotel paling mewah di kota Margaz. Orang-orang kantor mengunjungiku untuk meminta tanda tangan atau membicarakan urusan lainnya. Ketika kurasakan keadaanku membaik, aku minta segera pulang ke rumah. Aku sudah sangat rindu mencium bau bantal atau memakai sandal rumah yang nyaman. Tapi, istriku mencegahku. Aku memaksa, tapi ia tetap memintaku tinggal di hotel.

”Sudah seminggu ini rumah kita didatangi orang-orang tak dikenal. Pakaian mereka lusuh. Ucapan-ucapan mereka sangat kasar. Katanya, mereka korban penggusuran pembangunan mal di daerah Kraz,” ujar istriku sambil menggenggam tanganku.

Mendadak handphone mengisyaratkan ada pesan pendek yang masuk. Langsung kubuka. ”Aku hanya butuh hatimu, kawan.” Begitu pesannya.

Napas dalam-dalam kuhela. Jelas itu pesan pendek dari Gradaz. Tapi dari mana Gardaz tahu tahu nomor handphone-ku?

”Benar. Aku Gardaz. Aku tahu nomor HP-mu dari seorang perempuan, katanya sih pacarmu....”

Gila. Pacarku yang mana? Gristha? Gretha? Sylha? Deerva? Atau Dumma?

Muncul lagi kiriman pesan: ”Salah satu dari mereka”.

Bagaimana Gardaz bisa mengenalnya?

”Gadis itu kukenal saat aku mengunjungi ibunya yang rumahnya kamu gusur untuk mal, Bung”.

Huruf-huruf di dada handphone itu terasa berdesak-desak di benak. Kepalaku terasa berputar-putar.

Are you okay, Pa?” istriku menyeka keringat di keningku.

Aku mengangguk. Beberapa menit kemudian datang pesan pendek dari Gardaz.

”Aku hanya butuh hatimu. Aku percaya, kamu tetap orang baik....”

Kalimat itu terasa meremas jantungku. Aku ingin menjawabnya: diriku sangat tidak layak menjadi teman Gardaz yang mampu bertahan untuk tetap bersih berkilau seperti orang- orang suci atau nabi.

”Kamu ingat diskusi kita tiga puluh tahun lalu, tentang kelas menengah yang selalu berkhianat, kawan?”

Jantungku berdebar membaca pesan itu. Tanganku gemetar. Kepalaku terasa berputar-putar. Tubuhku seperti melayang dan akhirnya tumbang. Istriku menjerit. Dokter datang. Tabung oksigen disalurkan di hidungku.

Tubuhku sangat lemas, namun sesak dadaku sudah sangat berkurang. Kepalaku juga semakin ringan. Namun, bayangan wajah Gardaz bersama para korban penggusuran itu terus memenuhi benakku. Mereka berjalan berderap-derap, dengan sorot mata nanar, dengan gigi-gigi gemeretak ingin mengerkah kepalaku.

Aku berhasil mengempaskan mereka. Tubuh-tubuh mereka seperti terurai, namun dalam beberapa detik menyatu, mengkristal dan menggumpal kembali. Tatapan mata mereka nanar.

”Aku hanya butuh hatimu, kawan.” Huruf-huruf pesan pendek itu timbul-tenggelam di kepala. Dan dari kejauhan, kulihat Gardaz tersenyum. Pahit. Aku mencoba mengejar dan memeluknya, namun dia terus memelesat di antara gumpalan awan menuju cakrawala. Langkahku sangat lamban serupa reptil melata. Dia semakin jauh, semakin jauh. Tak terkejar.

Aku merasa kehilangan seorang kawan, sahabat yang sangat kukagumi. Namun, aku tak pernah berharap dia kembali lagi. Aku tak mungkin bisa berkawan dengan orang suci atau manusia yang sangat berbakat jadi nabi.

oleh Indra Tranggono

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/26/04232238/pesan.pendek.dari.sahabat.lama




Label:

Mempersiapkan Usaha Mandiri sejak Dini


Mengandalkan gelar sarjana untuk mencari kerja sudah tidak zamannya. Sekarang, di saat lapangan kerja semakin sempit, mau tak mau menuntut sebagian mahasiswa untuk mempersiapkan usaha mandiri sejak dini.

Gelar sarjana belum tentu menjamin masa depan. Tengok saja, begitu lulus kuliah banyak dari mereka menganggur. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka pengangguran bergelar sarjana semakin meningkat pesat empat tahun terakhir ini. Sekadar ilustrasi, tahun 2004 tercatat 348.107 pengangguran sarjana. Pada tahun 2008 meningkat jadi 598.318 orang.

Seakan sadar oleh kondisi serba sulit yang bakal menghadang itu, Vidia (21) memutuskan merintis usaha jual-beli mutiara. ”Awalnya, saya sulit meyakinkan papa kalau dengan menjual mutiara saya bisa membiayai hidup,” kata Vidia yang masih berstatus mahasiswa Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB).

Sejak tahun 2005, Vidia merintis usaha jual-beli mutiara air tawar, yang didatangkan dari Lombok, Nusa Tenggara Barat, kampung halamannya sendiri. Ia melihat peluang bisnis ini ketika seorang teman titip beli mutiara untuk hadiah ibunya. Teman itu menitip uang Rp 400.000. ”Dari situ saya berpikir ada banyak mahasiswa di kampus dan mereka berpotensi menjadi pasar,” tutur Vidia.

Ikhsan (21), mahasiswa semester delapan Jurusan Agribisnis IPB, memulai usaha ternak domba ketika masih kuliah di semester dua. Ketika itu ia hanya membeli satu ekor domba lalu menjualnya lagi saat Idul Adha.

Sekarang Ikhsan sudah memiliki usaha ternak skala kecil yang diberi nama Agrifarm. Usaha ternak itu ia kelola bersama lima temannya, yakni Mitha, Irma, Dinar, Iqbal, dan Uzainah. ”Dengan beternak, saya bisa menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah,” kata Ikhsan.

Bermodal proposal

Mereka yang memulai usaha sambil kuliah ini tidak selalu bergantung pada orangtua untuk mendanai bisnisnya. ”Masalah modal bisa diatasi dengan kreativitas. Kita harus kreatif dan menjaga kepercayaan agar bisa menarik investor,” kata Vidia.

Vidia yang pernah dilarang ayahnya berbisnis ini mulai berjualan mutiara dengan modal Rp 4 juta. Uang modal itu diperoleh dari hadiah lomba bidang ilmu pengetahuan yang pernah dimenanginya.

Dengan uang modal itu, Vidia berbelanja perhiasan mutiara di Lombok, lalu menjualnya lagi ke teman-teman dan kenalannya. Dengan harga sekitar Rp 30.000-Rp 100.000 (pada waktu itu), mutiara Vidia laris manis. Agar usahanya mudah dikenal, Vidia memakai merek dagang Mandalika Pearl.

Karena semakin banyak pesanan, ia mulai membutuhkan modal lebih besar. Mulailah Vidia menggandeng empat temannya, Bismi, Marsheilla, Evita, dan Nofaria, untuk menjadi investor sekaligus ikut mengelola Mandalika Pearl.

”Kami teman akrab, tetapi untuk urusan bisnis tetap harus ada surat perjanjiannya,” kata Vidia. Mereka pun berbagi tugas. Untuk urusan desain dan pemasaran dipegang Vidia, sementara teman yang lain kebagian tugas pemasaran, keuangan, dan publikasi.

Untuk menarik investor, Vidia dan teman-temannya membuat proposal yang cukup meyakinkan. Isinya menjelaskan bisnis mutiara berikut prospek pengembangan bisnisnya. Agar calon investor percaya, Vidia menyertakan juga aliran uang kas bisnisnya.

Hasilnya, Mandalika Pearl mendapat bantuan dana dari IPB sebesar Rp 8 juta. Selain itu, beberapa orangtua mahasiswa juga tertarik menjadi investor. Sekarang usaha yang dikembangkan Vidia bersiap membuka galeri sendiri di Jakarta. Produk mereka juga dipasarkan di beberapa mal di Jakarta dan sudah memiliki distributor di beberapa daerah.

Pinjaman

Perjalanan usaha Mohammad Ikhsan agak berbeda. Ia langsung mendapat pinjaman modal dari seorang pemasok domba di Bogor untuk mengembangkan usahanya. ”Dasarnya hanya kepercayaan saja,” tutur Ikhsan.

Awalnya, uang pinjaman sebesar Rp 20 juta itu digunakan Ikhsan untuk membeli 20 ekor domba kecil dan membangun kandang seluas 24 meter persegi di Bojong Kerta, Bogor.

Kandang itu berada di belakang rumah Irma, salah satu rekan Ikhsan. Sekarang Agrifarm sedang membesarkan 25 ekor domba dari Garut, Jawa Barat. Omzet yang bisa diraih Agrifarm sekitar Rp 19 juta setiap kali memasuki perayaan Idul Adha. Di luar itu, kambing mereka dijual untuk keperluan acara perayaan kelahiran dan pesta.

Sutanto (22) dan Hanif Affandi (21), keduanya dari Jurusan Ilmu Komputer IPB, memulai usaha nyaris tanpa modal sama sekali. Berbekal keahlian di bidang informasi teknologi mereka bergabung dengan tiga teman lainnya membentuk Nightfal dan memulai usaha di bidang desain situs, aplikasi untuk telepon genggam, dan instalasi jaringan.

Proyek yang digarap tidak main-main. Mereka pernah mendapat pesanan membuat aplikasi quick count saat pemilu legislatif dari sebuah lembaga survei. Nilai proyeknya mencapai Rp 30 juta. Namun, setelah proyek itu dikerjakan, ternyata lembaga survei itu membatalkannya secara sepihak. Mereka pun hanya dibayar Rp 2,5 juta. ”Ini pengalaman kami agar lain kali bisa membuat perjanjian yang lebih jelas,” kata Sutanto yang ditunjuk sebagai bos di Nightfal.

Dengan kejelian melihat peluang dan penataan manajemen, para mahasiswa ini telah berhasil menciptakan lapangan kerja bagi dirinya sendiri dan juga orang lain. Tentu usaha mereka pantas dijadikan pegangan di masa krisis global seperti saat ini....

oleh Lusiana Indriasari & Ratih Prahesti

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/05/03/03292120/mempersiapkan.usaha.mandiri.sejak.dini

Label:

Sabtu, 23 Mei 2009

Keindahan Kekalahan Kemenangan


Entah sejak kapan, sudah lama manusia hidup hanya dengan sebuah tema: memburu kemenangan, mencampakkan kekalahan.

Di Jepang dan berbagai belahan dunia, banyak orang mengakhiri hidupnya hanya karena kalah. Hal-hal yang melekat pada kekalahan dinilai serba negatif: jelek, hina.

Sekolah sebagai tempat untuk menyiapkan masa depan juga ikut-ikutan. Melalui program serba juara, sekolah menguatkan keyakinan "kalah itu musibah". Tempat kerja juga serupa, tak ada yang absen dari kegiatan sikut-sikutan. Semua mau naik pangkat, tak ada yang ingin turun. Terutama dunia politik, kekalahan hanyalah kesialan. Dan aroma seperti inilah yang mewarnai Indonesia pada awal April 2009, menjelang pemilu dan pilpres.

Tidak ada yang melarang manusia mengejar kemenangan. Ia pembangkit energi yang membuat kehidupan berputar, pemberi semangat agar manusia tidak kelelahan. Tapi, seberapa besar energi dan semangat manusia, bila putaran waktunya kalah, tidak ada yang bisa menolaknya.

Karena itu, orang bijaksana melatih diri untuk tersenyum di depan kemenangan maupun kekalahan. Berjuang, berusaha, bekerja, berdoa tetap dilakukan. Namun, bila kalah, hanya senyuman yang memuliakan perjalanan.

Dihormati karena menang itu indah. Namun, tersenyum di depan kekalahan, hanya orang yang mendalam pandangannya yang bisa melakukan. Sebagian orang bijaksana malah bergumam, kekalahan lebih memuliakan perjalanan dibandingkan kemenangan. Di depan kekalahan, manusia sedang dilatih, dicoba, dihaluskan. Kekalahan di jalan ini berfungsi menghaluskan.

Kesabaran, kerendahhatian, ketulusan, keikhlasan, itulah kualitas-kualitas yang sedang dibuka oleh kekalahan. Ia yang sudah membuka pintu ini akan berbisik, kalah juga indah!

Jarang terjadi ada manusia mengukir makna mendalam di tengah gelimang kemenangan. Terutama karena kemenangan mudah membuat manusia lupa diri. Para pengukir makna yang mengagumkan, seperti Kahlil Gibran, Jalalludin Rumi, Rabindranath Tagore, Thich Nhat Hanh, semuanya melakukannya di tengah kesedihan. HH Dalai Lama bahkan menerima Hadiah Nobel Perdamaian sekaligus penghargaan sebagai warga negara kelas satu oleh Senat AS setelah melewati kesedihan dan kekalahan puluhan tahun di pengasingan.

Mengukir makna memang berbeda dengan mengukir kayu. Dalam setiap konstruksi makna terjadi interaksi dinamis antara realitas sebagaimana apa adanya dan kebiasaan seseorang mengerti (habit of undestanding). Ia yang biasa mengerti dalam perspektif tidak puas, serba kurang, selalu menuntut lebih, akan melihat kehidupan tak menyenangkan ada di mana-mana. Sebaliknya, ia yang berhasil melatih diri untuk selalu bersyukur, ikhlas, tulus lebih banyak melihat wajah indah kehidupan.

Belajar dari sini, titik awal memaknai kekalahan adalah melihat kebiasaan dalam mengerti, the blueprint is found within our mind. Membiarkan kemarahan dan ketidakpuasan mendikte pengertian akan memperpanjang penderitaan yang sudah panjang.

Seorang guru mengambil gelas yang berisi air, meminta muridnya memasukkan sesendok garam dan diaduk. Saat dicicipi, asin rasanya. Setelah itu, guru ini membawa murid itu ke kolam luas dengan sesendok garam yang dicampurkan ke air kolam dan rasanya tidak lagi asin.

Itulah batin manusia. Bila batinnya sempit dan rumit (fanatik, picik, mudah menghakimi), kehidupan pun menjadi mudah asin rasanya (marah, tersinggung, sakit hati). Saat batinnya luas, tak satu hal pun bisa membuat kehidupan menjadi mudah asin.

Dengan modal ini, lebih mudah memaknai kekalahan bila manusia berhasil mendidik diri berpandangan luas sekaligus bebas. Berusaha, bekerja, belajar, berdoa adalah tugas kehidupan. Namun, seberapa pun kehidupan menghadiahkan hasil dari sini, peluklah hasilnya seperti kolam luas memeluk sesendok garam.

Apa yang kerap disebut menang-kalah, sukses-gagal, dan hidup-mati hanyalah wajah putaran waktu. Persis saat jam menunjukkan pukul 06.00, saat Matahari terbit. Pukul 18.00, putaran waktu Matahari tenggelam. Memaksa agar pukul 06.00 Matahari tenggelam tidak saja akan ditertawakan, tetapi juga korban karena kecewa.

Memang terdengar aneh. Pejalan kaki yang sudah jauh ke dalam diri bila ditanya mau kaya atau miskin, akan memilih miskin. Atas menang atau kalah, ia akan memilih kalah. Kaya adalah berkah, namun sedikit ruang latihan di sana. Meski ditakuti banyak orang, kemiskinan menghadirkan daya paksa tinggi untuk senantiasa rendah hati. Menang memang membanggakan, namun godaan ego dan kecongkakan besar sekali. Nyaris semua orang tak ingin kalah, tetapi kekalahan adalah ibu kesabaran.

Seorang guru meditasi yang sudah sampai di sini pernah berbisik, finally I realize there is no difference between mind and sky. Inilah buah meditasi. Batin menjadi seluas langit. Tidak ada satu awan (awan hitam kesedihan, awan putih kebahagiaan) pun yang bisa mengubah langit. Dan ini lebih mungkin terjadi dalam manusia yang sudah berhasil memaknai kekalahan.

Oleh Gede Prama

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/25/0309250/kekalahan.kemenangan.keindahan

Gede Prama Bekerja di Jakarta; Tinggal di Bali Utara

Label: