Pesan Pendek dari Sahabat Lama
Waktu itu, di tengah kepungan panser yang siap menggilas siapa saja, doaku sangat sederhana: semoga Tuhan belum berkenan memanggilnya. Dia terlalu muda dan berharga untuk binasa, apalagi dengan cara yang mengenaskan. Aku ingin melanjutkan doa yang terlalu singkat itu, namun mendadak senapan-senapan menyalak dan tubuh-tubuh tumbang, menambah jumlah mayat yang terserak-serak.
Jalanan aspal makin menghitam disiram darah. Amis. Aku pun berharap segera turun hujan atau setidaknya gerimis agar jalanan itu sedikit terbasuh dan suasana rusuh itu sedikit luruh.
Ketika kerumunan massa bergerak dan merangsek istana, aku masih melihat dia berdiri di atas tembok, mengibas-ngibaskan bendera sambil berteriak-teriak. Kerumunan orang-orang pun makin merangsek: mencoba menumbangkan pagar besi istana. Entah berapa batalyon menghadangnya. Terjadi aksi saling dorong. Lalu, suara senapan menyalak. Lalu tubuh-tubuh tumbang. Aku pun mencoba mendongakkan kepala di tengah tubuh-tubuh yang rubuh menimbun tubuhku. Aku ingin melihatnya kembali, apakah dia masih berdiri di atas tembok. Namun, dia telah tiada. Perasaanku gusar. Hatiku gemetar. Dan, sesudah kerusuhan itu reda, beredar kabar lebih seratus demonstran tewas. Tidak sampai seminggu, gerakan massa itu berhasil memaksa Presiden Clawuz turun dan rakyat pun bisa bernapas kembali.
Siang itu, setelah rapat di kantor, sekretarisku memberi tahu ada seorang laki-laki yang mencariku. Katanya, laki-laki itu sekarang tertahan di pos keamanan. Aku menyuruh ajudanku untuk melihatnya. Tiga menit kemudian, ajudanku menghadapku dan bilang, laki-laki itu mengaku bernama Gardaz dan mengaku kawan lamaku. Dengan perasaan bahagia, kusuruh ajudanku menjemputnya.
Aku terperanjat. Ya, tamu itu benar-benar Gardaz, kawan lama yang terakhir kulihat di kerusuhan Ibu Kota, 30 tahun lalu. Aku mencoba memeluknya, tapi ia mencegah dengan senyumnya yang kurasakan sangat getir. Ia mundur dua langkah dan memberi isyarat agar aku tidak menyentuhnya. Aku diam mematung, tertegun. Kutatap dia lekat-lekat. Aku masih melihat sorot matanya yang tajam; bola matanya yang dilingkari api. Namun, keindahan dan ketajaman mata itu sangat tidak sebanding dengan tubuhnya yang kurus, hitam, atau dengan wajahnya yang makin tirus dengan tonjolan tulang pipi. Juga, kaus dan celananya yang lusuh. Kuku-kuku jari tangannya panjang dan hitam. Rambut panjangnya hampir seluruhnya memutih. Hatiku terasa menggigil. Perasaanku teraduk-aduk. Aku ingin kembali memeluk. Tapi, ia menolak dengan senyumnya yang lagi-lagi getir.
Aku meminta ajudanku meninggalkan kami. Aku mengajak dia masuk ruang tamu. Namun, ia kembali tersenyum, pahit. Ia memintaku untuk tidak repot. Katanya, pertemuan ini sudah sangat membahagiakan dirinya.
Membahagiakan? Aku membatin. Aku justru menjadi kurang berbahagia karena ia menolak kupeluk, menolak kupersilakan masuk. Padahal, aku sangat ingin merasakan kehangatan persahabatan yang telah 30 tahun terputus. Aku juga ingin tahu keadaan dirinya, ke mana saja dia dan apa pekerjaannya sekarang.
Aku lebih dari sekadar kagum pada dia. Ya, Gardaz, mahasiswa paling cerdas dan paling berani berdemonstrasi melawan tirani. Aku mengenalnya lingkaran diskusi kampus: aku kuliah di fakultas ilmu sosial politik, dia kuliah di filsafat. Diskusi kami selalu mendidih, mencoba menyingkirkan banyak sepatu lars yang berderap-derap di kepala dan rongga dada. Namun, mengenyahkan sepatu lars itu tidak gampang; berulang kali beberapa teman kami digelandang dijebloskan ke sel tahanan. Tentu termasuk Gardaz.
Sebenarnya Gardaz tidak perlu ditangkap dan ditahan petugas waktu itu karena hari itu ia tengah sakit dan tidak terlibat diskusi. Namun, ketika ia mendengar kabar bahwa aku ditangkap dan ditahan, ia mendatangi komandan daerah militer di kota Margaz. Dia minta aku dibebaskan, dengan jaminan dirinya. Ia mengaku sebagai penanggung jawab diskusi.
Pengorbanan Gardaz sangat sulit kulupakan. Sampai sekarang. Juga pengorbanan lainnya: ketika aku sakit ia merelakan uang kuliahnya untuk menebusku dari rumah sakit, ketika aku terlambat menerima kiriman uang dari desa, dia menanggung hidupku untuk beberapa minggu dan jasa baik lainnya. Ia selalu meminta aku untuk melupakan jasa baiknya, setiap aku ingin membalasnya atau menyahur utang-utangku.
Semula aku menyangka orang tua Gardaz kaya. Namun, ternyata ia anak orang biasa seperti aku: anak petani. Dari mana dia mendapat uang? Ternyata dia bekerja sambil kuliah. Dia bekerja di pabrik kecap pada malam hari.
Diam-diam di pabrik kecap itu dia membentuk organisasi pekerja dan sering melakukan banyak kegiatan. Para pekerja itu dididiknya untuk memiliki kesadaran hak. Gerakan ini dicium pemilik pabrik. Akhirnya, bersama beberapa temannya dia dipecat.
”Sejak kerusuhan itu meletus, kamu ke mana?” tanyaku.
Gardaz tersenyum, pahit. ”Aku pulang ke desa. Tapi ternyata aku tidak berbakat jadi petani....”
”Sekarang?”
”Ya, tetap konsisten jadi ... gelandangan.”
Kami tertawa. Terlihat gigi-gigi yang hitam dibakar asap rokok.
”Aku senang kamu menjadi gubernur di Margaz, kota yang sangat kita cintai. Tidak sia-sia kamu jadi kader partai...,” ujarnya.
Aku kurang senang dengan ucapannya itu. Teman-temanku yang lain sering mengejekku dengan menyebutku ”Baginda Gubernur”. Mereka menganggapku sebagai pejuang yang menyerah kepada kekuasaan yang dulu sama-sama kami lawan. Tapi, aku tidak merasa bersalah dengan pilihanku. Melihat aku terdiam, Gardaz kembali bicara.
”
Semoga dia tulus, aku membatin. ”Terima kasih. Eee... maaf mungkin aku bisa membantumu, Bung...?”
”
Aku menatapnya. Aku ingin mengucapkan banyak kalimat, tapi lidahku terasa tercekat.
”Kamu tahu yang kuinginkan?
Dia melangkah pelan, keluar ruangan. Tubuhku terasa aneh, sulit kugerakkan untuk mencegahnya.
Apa yang salah dengan hatiku? Pikirku.
Kehadiran Gardaz dengan cepat menguap dari kepalaku, ketika banyak urusan dinas mengepungku dan menekanku. Aku tersekap dalam urusan pembangunan mal, apartemen-apartemen mewah, jembatan, rumah sakit kelas internasional, dan proyek lainnya. Aku tersekap dalam angka-angka yang berderet-deret sepanjang bentangan keinginan. Aku terkapar di dalamnya.
Aku terbangun dari timbunan angka-angka. Kuedarkan pandangan mataku. Aku sedikit kaget melihat ruangan serba putih, melihat selang-selang infus, melihat orang-orang berpakaian serba putih.
Anak dan istriku memelukku. Mereka kularang untuk menangis. Istriku bilang, aku terkena serangan jantung koroner, namun tidak terlalu serius dan sudah teratasi. Dokter pun telah mengizinkan aku pulang.
Istriku mencegahku. Dia memintaku untuk bertahan di rumah sakit sehari atau dua hari lagi. Atau kami tinggal di hotel beberapa hari.
”Kenapa?”
Istriku tersenyum, ”Ya, agar papa makin sehat saja atau bisa lebih tenang....”
Akhirnya kami tidur di hotel paling mewah di kota Margaz. Orang-orang kantor mengunjungiku untuk meminta tanda tangan atau membicarakan urusan lainnya. Ketika kurasakan keadaanku membaik, aku minta segera pulang ke rumah. Aku sudah sangat rindu mencium bau bantal atau memakai sandal rumah yang nyaman. Tapi, istriku mencegahku. Aku memaksa, tapi ia tetap memintaku tinggal di hotel.
”Sudah seminggu ini rumah kita didatangi orang-orang tak dikenal. Pakaian mereka lusuh. Ucapan-ucapan mereka sangat kasar. Katanya, mereka korban penggusuran pembangunan mal di daerah Kraz,” ujar istriku sambil menggenggam tanganku.
Mendadak
Napas dalam-dalam kuhela. Jelas itu pesan pendek dari Gradaz. Tapi dari mana Gardaz tahu tahu nomor
”Benar. Aku Gardaz. Aku tahu nomor HP-mu dari seorang perempuan, katanya sih pacarmu....”
Gila. Pacarku yang mana? Gristha? Gretha? Sylha? Deerva? Atau Dumma?
Muncul lagi kiriman pesan: ”Salah satu dari mereka”.
Bagaimana Gardaz bisa mengenalnya?
”Gadis itu kukenal saat aku mengunjungi ibunya yang rumahnya kamu gusur untuk mal, Bung”.
Huruf-huruf di dada
”
Aku mengangguk. Beberapa menit kemudian datang pesan pendek dari Gardaz.
”Aku hanya butuh hatimu. Aku percaya, kamu tetap orang baik....”
Kalimat itu terasa meremas jantungku. Aku ingin menjawabnya: diriku sangat tidak layak menjadi teman Gardaz yang mampu bertahan untuk tetap bersih berkilau seperti orang- orang suci atau nabi.
”Kamu ingat diskusi kita tiga puluh tahun lalu, tentang kelas menengah yang selalu berkhianat, kawan?”
Jantungku berdebar membaca pesan itu. Tanganku gemetar. Kepalaku terasa berputar-putar. Tubuhku seperti melayang dan akhirnya tumbang. Istriku menjerit. Dokter datang. Tabung oksigen disalurkan di hidungku.
Tubuhku sangat lemas, namun sesak dadaku sudah sangat
Aku berhasil mengempaskan mereka. Tubuh-tubuh mereka seperti terurai, namun dalam beberapa detik menyatu, mengkristal dan menggumpal kembali. Tatapan mata mereka nanar.
”Aku hanya butuh hatimu, kawan.” Huruf-huruf pesan pendek itu timbul-tenggelam di kepala. Dan dari kejauhan, kulihat Gardaz tersenyum. Pahit. Aku mencoba mengejar dan memeluknya, namun dia terus memelesat di antara gumpalan awan menuju cakrawala. Langkahku sangat lamban serupa reptil melata. Dia semakin jauh, semakin jauh. Tak terkejar.
Aku merasa kehilangan seorang kawan, sahabat yang sangat kukagumi. Namun, aku tak pernah berharap dia kembali lagi. Aku tak mungkin bisa berkawan dengan orang suci atau manusia yang sangat berbakat jadi nabi.
oleh Indra Tranggono
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/26/04232238/pesan.pendek.dari.sahabat.lama
Label: Cerpen
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda