Minggu, 14 Juni 2009

F35 siap mengelilingi Indonesia

Beberapa waktu yg lalu diberitakan pada salah satu media bahwa Singapura dan Australia merencanakan untuk membeli pesawat F35, miris sekali dengan kondisi negara kita sekarang dimana terjadi beberapa kali kecelakan pada peralatan tempur TNI. Namun tak ada salahnya kita untuk mencari tahu seperti apa pesawat buatan Lockheed Martin Corp AS itu.




Pesawat tempur F-35 produksi Lockheed Martin Corp AS adalah pesawat canggih yang bisa digunakan untuk pertempuran udara (dogfight) dan serangan ke permukaan ini mampu mengelak dari radar lawan.

F-35 dibuat dalam tiga versi, F-35A yang lepas landas secara konvensional, F-35B yang bisa terbang dari landasan pendek atau lepas landas secara vertikal, serta F-35C yang khusus dibuat untuk AL AS dan berpangkalan di kapal induk.

Pesawat F-35 yang siap beroperasi hingga tahun 2040 kini hanya 12 unit per tahun. Diharapkan pesawat ini bisa diproduksi jadi 12 unit per bulan tahun 2014 setelah jalur produksi siap.

Dengan kemampuan mengelak dari radar lawan membuat harga jual F-35 per unit melebihi 68 juta dollar AS atau sekitar Rp 598 miliar.

Adapun tipe F-35B yang bisa lepas landas dan mendarat secara vertikal atau pada landasan pendek dan didesain untuk Marinir dijual seharga 85 juta hingga 88 juta dollar AS.

Tipe F-35C untuk AL AS dan berpangkalan di kapal induk harganya mencapai 90 juta-92 juta dollar AS. Tipe F-35C baru akan terbang perdana pada Oktober 2009.



Label:

Jumat, 05 Juni 2009

Buruk muka cermin dibelah, Buruk RS pasien dituntut

Bayangkan jika anda makan di sebuah warung tegal pinggir jalan dan mendapatkan servis yg buruk. Makanan tidak enak, pelayan tidak ramah, sendok berminyak, dan setelah pulang anda sakit perut. Lalu anda sms teman-teman anda memperingatkan supaya tidak makan di warteg tersebut. Beberapa minggu kemudian Anda masuk penjara karena pemilik warung itu menuntut anda atas dasar pencemaran nama baik. Logiskah? Apa anda terima? Siapa yang salah? Adilkah? Apakah menurut anda warung itu akan semakin ramai atau malah sepi pengunjung? Jika anda pemilik warung itu, apakah anda juga akan membawa masalah ini ke pengadilan atau melakukan cara lain?

Bandingkan dengan kasus yang menimpa Ibu Prita Mulyasari. Ibu ini pergi berobat ke RS Omni Internasional Tanggerang. Dia mendapat diagnosa yang salah, banyak suntikan mahal tidak jelas yg membuat dia sesak napas, tidak dilayani permintaannya untuk mendapat rekam medis, dibohongi, dan dikecewakan oleh pelayanan RS tersebut. Ia kemudian menumpahkan kekecewaan tersebut dalam sebuah email kepada 10 orang rekannya, dan ke surat pembaca detik (atau mungkin bukan dia yg mengirim ke detik). Email ini berisi kronologis kejadian yg menimpanya dan peringatan agar berhati-hati. Email ini kemudin tersebar ke banyak milis dan akhirnya diketahui oleh pihak RS Omni Internasional.

Apa reaksinya? Sebuah email klarifikasi yang menyatakan bahwa email itu adalah "TIDAK BENAR" tanpa penjelasan lebih jauh dikirim ke milis, dan juga dipasang setengah halaman di koran nasional. Lalu dikatakan Ibu Prita BOHONG dan akan dituntut secara hukum. Ibu Prita sekarang dipenjara karena masalah ini. Dia terkena Pasal 27 ayat (3) UU ITE , yang isinya, "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." Dia juga diancam hukuman penjara maksimal enam tahun dan atau denda maksimal Rp 1 miliar.

Apakah sebuah keluhan dari konsumen layak dikenakan tindak pidana dan perdata? Padahal hal itu dilindungi dalam UU Perlindungan Konsumen (UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen). Selain itu berdasarkan UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran dan juga Peraturan Menteri Kesehatan No 269/Menkes/PER/ III/2008 tentang Rekam Medis tertanggal 12 Maret 2008 telah menjelaskan bahwa Pasien/Konsumen berhak untuk meminta rekam medis.

Apakah RS Omni Internasional akan menambah reputasi atau malah mendapat citra buruk? Kita bisa melihat contoh 2 kasus lain yang mirip, namun perlakuannya berbeda:

a. Dell Hell.

Pada tahun 2005, seorang blogger terkenal Jeff Jarvis mengeluhkan layanan purna jual dan produk komputer Dell di blognya, yg berjudul Dell Hell. Tulisan ini dan banyak tulisan lain tentang Dell memicu penyebaran berita buruk tentang Dell ke blog-blog lain. Keburukan produk dan pelayanan Dell terbuka ke publik. Impact-nya besar sekali. Sampai masuk ke BusinessWeek. Dan pada akhirnya Michael Dell sendiri turun tangan dan merombak perusahaan tersebut. Perusahaan yang tadinya tidak mendengar konsumennya, sekarang malah mempunyai blog dimana konsumen dapat memberi input untuk sebuah produk baru. Hal ini dilakukan dalam waktu 2 tahun. Jeff Jarvis tahun 2007 menulis pujian di BusinessWeek tentang Dell.

http://socialtnt.com/2007/10/23/dell-hell-freezes-over-a-great-example-o
f-turning-lemons-into-lemonade/
Ini adalah contoh bagaimana sebuah perusahaan internasional bereaksi terhadap keluhan konsumen

b. Edward Forrer

Seorang Blogger lokal asal Indonesia, namanya Fahmi (http://mfahmia2705.blogspot.com/) mengeluhkan sepatu Edward Forrer yg dibelinya, karena jebol setelah 2 bulan dipakai. Selain kualitas rendah, juga pelayanan buruk pegawainya. Dia sampai sumpah-sumpah gak mau beli disitu lagi. Keluhan ini dibaca manager EF yang kemudian menukar sepatunya dengan model baru. Sepatu yg jebol dibedah di bagian produksi EF dan diteliti untuk menghasilkan produk model baru yg lebih bagus. Dan sepatu model baru itu kemudian dikasih gratis untuk Fahmi. Fahmi pun puas, karena sepatu baru itu bagus, dan EF mendapat iklan gratis di blognya Fahmi. EF itu perusahaan lokal lho.


Kalau dibandingkan 2 contoh diatas, tindakan RS Omni Internasional Tangerang sungguh tidak simpatik. Konsumen adalah raja, hal itu tidak tercermin dari perilaku RS Omni. Sebuah keluhan dari konsumen dapat dilayani dengan simpatik, dengan cara kekeluargaan, lalu klarifikasi tentang hal tersebut dapat dimuat di media, atau dalam hal ini lewat milis. Menuntut bekas pasien secara pidana dan perdata malah memberi kesan RS Omni takut dan panik. Takut kenapa? Apakah karena memang pelayanan dan prakteknya tidak baik? Apakah masih ada orang yang berani berobat kesitu jika mengeluh saja bisa dipenjara?

Ibu Prita sekarang telah kalah dalam pengadilan untuk masalah perdata, tanpa alasan yang jelas dari Hakim. Sidang kasus pidana akan berlangsung tanggal 4 Juni 2009. Tetapi Ibu Prita sudah dipenjara dari tanggal 13 Mei 2009, tanpa alasan. Padahal Ibu Prita mempunyai seorang anak yg masih menyusui, dan anak berusia 3 tahun. Dengan alasan kemanusiaan, seharusnya penahanan ditunda. Masa koruptor penahanannya boleh ditunda, tapi ibu ini tidak boleh?

RS Omni Internasional terkesan sangat arogan. Para blogger dan Facebooker Indonesia telah bergerak untuk mengumpulkan dukungan terhadap Ibu Prita, dan ancaman boikot telah diserukan. Namun RS Omni tidak bergeming, dan malah mengatakan tidak takut diboikot. Sangat kontras sekali dengan sikap Dell dan EF diatas. RS Omni menganggap remeh kekuatan email, blog, dan facebook. RS Omni menganggap remeh kekuatan sosial masyarakat.

Apakah Kekuatan Uang /Perusahaan Besar boleh menindas rakyat kecil ??? Hari ini Ibu Prita, besok mungkin anda jadi korban.

Mari kita dukung Ibu Prita dengan cara apapun yang anda bisa. Angkat hal ini, sebarkan ke banyak orang. Biar media tahu, biar dunia tahu, biar capres-capres itu tahu. Kalau perlu, boikot RS Omni, supaya mereka tahu bahwa kekuatan masyarakat tak bisa diremehkan dan supaya mereka mencabut
tuntutan.

Update:
Prita Mulyasari bebas dari penjara dan menjadi tahanan kota setelah digempur kiri-kanan. Ayo terus lanjutkan perjuangan!!!

Gabung cause di Facebook:
http://apps.facebook.com/causes/290597/33397484?m=cc366e79


http://www.berpolitik.com/news.pl?n_id=22399&c_id=3&param=zSr43VclZlzepv
P6idX4

Memenjarakan Prita: Omni Untung atau Buntung?

(berpolitik.com): Bui bakal full house. Penghuninya adalah konsumen yang berkeluh kesah. Yakni, mereka yang curhat di milis. Mereka yang mewartakan melalui statusnya di Facebook atau juga mereka yang memilih jalur konvensional: menulis surat pembaca di koran atau majalah.

Ini bakal terjadi kalau semua perusahaan seperti RS Omni Internasional Alam Sutera. Ini bukan mengada-ada kalau semua jaksa seperti jaksa di Tangerang. Untungnya, tidak semua perusahaan seperti Omni. Untungnya, jaksa di daerah lain belum melihat ini sebuah kesempatan baru yang lain.

Tidak banyak perusahaan ingin bergaya seperti Omni. Pasalnya, jalur peradilan sangat mahal dan memakan waktu. Kalaupun menang tak ada kepastian benar-benar untung. Secara formal nama baik mungkin terpulihkan (melalui pemasangan iklan, misalnya). Secara aliran kas, barangkali ada pemasukan tambahan dari uang ganti rugi.

Namun, karena reputasi pengadilan di negeri ini jauh dari positif, kemenangan formal itu belum berarti apa-apa. Keluhan konsumen yang dijawab secara frontal adalah iklan yang sangat buruk. Pemenjaraan konsumen karena mengeluh merupakan kampanye yang jauh lebih buruk lagi. Sebab, tingkah pola over acting aparat kejaksaan bisa dipastikan akan disangkutpautkan dengan dugaan adanya manuver dari pihak Omni. Ini sudah menyangkut persepsi terhadap kerja aparat hukum di tanah
air.

Pada titik ini, tak terhindarkan bermunculan konsekuensi-konsekuensi yang tidak dikehendaki. Tapi, sebelum itu, untuk adilnya, ada baiknya dibedah serba sedikit motivasi yang mendorong Omni bertindak sangat agresif.

Ada Persaingan Bisnis?

Pertama, keluhan Prita bisa jadi dianggap dusta 100%. Omni Percaya, dokter-dokter mereka adalah orang berbudi luhur yang tidak akan memanfaatkan ketidaktahuan pasien untuk mencari laba sebesar-besarnya. Omni percaya, dokter-dokter mereka sangat profesional dan maha ahli sehingga tak mungkin alpa pun lalai.

Kedua, langkah Omni meredam keluhan Prita dianggap harus dilakukan. Dalam hal ini, Omni beranggapan keluhan Prita jika dibiarkan akan dimanfaatkan pihak-pihak lain untuk menuntut Omni dengan tudingan malpraktik terhadap kasus-kasus yang pernah mereka alami.

Ketiga, langkah Omni bisa jadi merupakan upaya untuk mencegah keluhan Prita menjadi senjata bagi kompetitornya untuk merebut calon konsumen (eh pasien) mereka. Kebetulan, di dekat Omni memang ada RS Eka Hospital Serpong (milik Sinar Mas Grup).

Namun, alasan-alasan itu nyatanya tak sebanding dengan resiko yang bisa menggerus reputasi mereka. Padahal, kehilangan reputasi sama saja dengan kehilangan pelanggan.

Efek Wantek
Pertama, secara naluri, publik akan memvonis Omni sebagai Arogan, tak peduli, tak manusiawi dan sederet labeling lainnya.
Kedua, manuver Omni memancing bekas konsumennya untuk bersaksi. Bersaksi atas berbagai keburukan pelayanan dan bahkan juga kemungkinan menjadi korban malpraktik rumah sakit tersebut.
Ketiga, sebagai konsekuensi lanjutanya, ajakan untuk memboikot pun mengapung.

Dengan banyaknya pilihan rumah sakit alternatif, ajakan boikot itu relatif manjur dengan sendirinya: calon pasiennya akan berpikir berulang-ulang ke datang ke rumah sakit ini. Daripada mengambil resiko, lebih baik memilih rumah sakit yang tidak terlibat dalam kontroversi.

Lebih dari itu, orang pun mulai bertanya-tanya tentang siapa di balik rumah sakit ini. Dus, tingkah polah Omni bak "wantek": berpotensi mencemari perusahaan-perusahaan lainnya. Yang tercemar tidak mesti selalu perusahaan yang benar-benar satu grup. Perusahaan atau usaha yang bernama mirip (menggunakan Omni) juga rentan terkena labeling yang sama.

Jika publik tidak mendapatkan informasi tentang grup usaha dibalik Omni atau perusahaan yang satu grup, maka Omni secara alamiah akan dikaitkan dengan Alam Sutera Realty, dimana RS ini berlokasi.

Menurut Data Bursa Efek Indonesia (per 30 April 2009), Alam Suteraantara lain dimiliki oleh Argo Manunggal (30.12%), Bukit Asri Padang Golf (17.2%), Manunggal Prime Development (15.52%) dan juga dua perusahaan sekuritas. Kebetulan, Argo Manunggal yang tergabung dalam grup Argo Pantes juga memiliki Hotel bernama Omni Batavia di bilangan kota, Jakarta.

Cara yang Lebih Baik
Jika merunut ke belakang, Omni sejatinya bisa mengembangkan pendekatan yang lebih baik. Prita hanyalah mengeluh. Ia tak mengajukan gugatan malpraktik. Jawaban terbaik atas imel Prita adalah dengan melibatkan Prita. Mengajaknya berdialog, menemukan kesepahaman yang sama dan kalau memang terbukti ada ketidakprofesionalan, RS Omni meminta maaf secara terbuka.

Dengan pelibatan Prita, situasinya bukanlah Omni vs Prita, tapi Omni dan Prita versus pelayanan yang buruk. Ini menunjukkan bahwa Omni berorientasi kepada pasien dan bukan manajemen perusahaan bernama rumah sakit.

Contoh kasus yang selalu disebut adalah bagaimana Johnson & Johnson bersikap tatkala obat pusingnya bermerk ?Tylenol? telah dicemari zat-zat lain oleh orang yang usil. Yang tercemari sebenarnya jumlahnya sangat sedikit. Tapi, perusahaan ini memilih sikap drastis: menarik obat
tersebut dari seluruh dunia.

Kerugiannya waktu itu terasa begitu besar. Tapi, dalam waktu cepat, perusahaan kembali menangguk untung karena konsumen percaya Johnson & Johnson benar-benar peduli terhadap nyawa konsumennya ketimbang pertimbangan arus kas perusahaannya sendiri.

Omni rupanya memilih tindakan yang berbeda. Bahkan, di detik sore kemarin, Omni dengan gamblang menyatakan bahwa mereka tak takut dengan gerakan pemboikotan yang berkembang di facebook. "Kami menegakkan hak,"kata Risma Situmorang, pengacara Omni.

Kekerasan hati Omni menunjukkan mereka memang bersikukuh. Tapi, dengan membuat pernyataan ini, mereka sejatinya tengah menantang 'kebijaksanaan kerumunan' sebagaimana Megawati pernah bereaksi terhadap gerakan di facebook beberapa waktu lalu.

from guyon-yook

Label:

Pasal 27 UU no 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik

BAB VII

PERBUATAN YANG DILARANG

Pasal 27

(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan / atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Label:

Rabu, 03 Juni 2009

Email Prita Mulyasari atas Pelayanan RS Omni International yang berbuntut Pengadilan

Sabtu, 30/08/2008 11:17 WIB

Jakarta – Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya. Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien, penjualan obat, dan suntikan.

Saya tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008 jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan manajemen yang bagus.

Saya diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39 derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit 27.000.

dr I menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini. Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam berdarah.

Mulai malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi, dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam. Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin pasien atau keluarga pasien.

Saya tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter profesional standard Internatonal.

Mulai Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan disertai banyak ampul.

Tangan kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu dr H saja.

Esoknya dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.

Malamnya saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun hanya berkata menunggu dr H saja.

Jadi malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan obat-obatan.

Esoknya saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.

dr H tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang memuaskan.

Keesokannya kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan diberikan data medis yang fiktif.

Dalam catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.

Saya ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.

Saya mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.

Dalam kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas nama Og (Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi dengan saya.

Saya benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan 181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.

Tanggapan dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik. Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.

Setelah itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.

Saya lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas. Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi sesak napas.

Suami saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.

Saya telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya. Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada tanda terima atas nama Rukiah.

Ini benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan? Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.

Terutama dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.

Saya bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.

Pihak manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.

Kenapa saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.

Dan setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.

Saya dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari keserakahan ini.

Sdr Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B). Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS lain.

Syukur Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan waktu yang cukup untuk menyembuhkan.

Setiap kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing. Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.

Semoga Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.

Saya sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini.

Salam,
Prita Mulyasari

Label: